Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Senin, 18 April 2011

Benarkah Demokrasi adalah Akhir dari Sejarah - Francis Fukuyama

Diposting oleh Firman Mulyadi

Warga Chicago ini bermana Francis Fukuyama, ia dilahirkan pada 27 Oktober 1952. Ia merupakan seorang Guru Besar Omer L. dan Nancy Hirst di bidang kebijakan Publik, School of Public Policy, George Mason University.

Fukuyama dalam mengajukan argumen-argumenya didasarkan pada tulisan-tulisan Kant, Hegel dan pembacaan kritis dari Marx, dimana ia meramalkan bahwa di penghujung sejarah dan masa depan tidak akan pernah ada lagi ruang-ruang bagi pertarungan antar ideology besar.

Dimana kita semua telah mengetahui Fukuyama menerbitkan bukunya dengan judul The End of History and The Last Man pada tahun 1992, yang telah menimbulkan berbagai kontroversi. Dan faktanya, lebih banyak gugatan-gugatan yang datang daripada sikap-sikap simpatik untuk mengambil sisi positif dati tesisnya ini. Tetapi saya tidak akan berbicara banyak masalah siapakah yang mengkritik ataupun siapa yang memberikan rasa simpatik, tetapi saya akan berusaha membaca apa yang dimaksudkan buku ini –terlebih dari segi sejarah.

Inti Filsafat ‚History’

‚History’ yang digunakan oleh Fukuyama, telah membawa berbagai macam penafsiran. Banyak yang memahami sejarah dalam arti konvensional sebagai kejadian dari pelbagai peristiwa, seperti runtuhnya Tembok Berlin, pembantaian komunis Cina dilapangan Tiananmen, dan invasi Irak ke Kuwait sebagai bukti bahwa „sejarah telah berlangsung”. Bila sejarah yang dimengerti adalah seperti yang tertulis diatas, maka menurut Fukuyama, ia ipso facto terbukti salah.

Maka sejarah yang seperti apa yang dimaksudkan oleh Fukuyama? Yaitu sejarah yang dipahami sebagai sebuah proses tunggal, koheren, evolusioner, dengan memperhitungkan pengalaman seluruh umat manusia di setiap jaman.

Dengan mengambil tulisan-tulisan Hegel dan Marx, dimana mereka percaya bahwa evolusi masyarakat manusia tidaklah „open ended” tetapi akan berakhir bila manusia telah mencapai suatu bentuk masyarakat yang sempurna yang terdalam dan memiliki hasrat fundamental. Bagi Hegel „akhir sejarah” adalah dengan terbentuknya Negara liberal, dan bagi Alexander Kojève, seorang penafsir Hegel, menyimpulkan bahwa secara hakiki Hegel benar ketika mendeklarasikan telah berakhirnya sejarah. Namun bagi Marx „akhir sejarah” adalah dengan masyarakat komunis.

Titik Akhir dari ‚Akhir Sejarah’


Bagi Fukuyama sendiri, demokrasi liberal-lah yang (mungkin) merupakan „titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia”, dan „bentuk final pemerintahan manusia”, sehingga bisa disebut „akhir sejarah”.

Demokrasi liberal dianggap sebagai satu tujuan dunia bagi Fukuyama karena ia melihat pesimisme pada abad ke-20, yang diakibatkan oleh kekejaman yang membuat harapan-harapan awal hancur. Perang dunia I merupakan suatu peristiwa kritis yang merusak kepercayaan diri Eropa. Totalitarianisme, yang diciptakan oleh Hitler dan Stalin, karena kemajuan teknologi dan modernitas.

Pelbagai kejadian inilah yang menjadi latar belakang bagi bangsa-bangsa di Barat, apakah demokrasi liberal pada kenyataannya merupakan sebuah aspirasi umum dari seluruh umat manusia? Munculnya ide demokrasi liberal tidak jauh dari menculnya ketidakpercayaan bahwa komunisme Soviet dapat menmpresentasikan masa depan mereka, seperti yang dilakukan kebanyakan pemikir diakhir Perang Dunia II. Memang ini berbeda dengan kaum kiri, yang masih menganggap legitimasi Marxisme-Leninisme untuk masyarakat mereka. Seperti Kuba dan Nikaragua, yang menjadi imperialisme Amerika, dan bagi orang-orang Vietnam, yang mengganggap komunisme sebagai tradisi nasional yang sebenarnya.

Tetapi ketika komunis jatuh secara tidak terduga pada tahun 1980-an, bentuk-bentuk diktaktor otoritarian, baik pada kelompok kanan maupun kiri, telah ambruk. Dan kehancuran inilah yang mengarah pada penegakan Negara-negara demokrasi liberal yang stabil.

Demokrasi Liberal Fukuyama

Demokrasi Liberal sendiri yang dimaksudkan oleh Fukuyama adalah, dimana demokrasi bisa berjalan, bila warga negara mengembangkan suatu kebanggaan yang irrasional atas institusi-institusi yang mereka miliki, dan komunitas-komunitas kecil.

Fukuyama juga mengambil dari istilah para pengikut Sokratic, dimana demokrasi liberal memiliki tiga komponen yaitu human desire, human spiritedness, and human reason.

Pendirian sebuah negara demokrasi liberal berarti harus membentuk sebuah undang-undang politik yang sangat rasional, yang di dalamnya komunitas sebagai suatu keseluruhan mempertimbangkan hakikat konstitusi dan perangkat hukum-hukum dasar yang akan mengatur kehidupan politik mereka.

Demokrasi liberal menyatakan rasa tidak percaya dan daya tarik yang kecil untuk saling menguasai. Mereka membagi suatu prinsip yang lain dengan suatu persamaan hak universal, dan oleh karena itu tidak memiliki dasar di dalamnya untuk menyatakan tiap-tiap pengakuan yang lain.

Demokrasi liberalpun berusaha menghapuskan perbedaan antara kaum tuan dan kaum budak dengan menjadikan manusia sebagai tuan bagi dirinya sendiri. Sehingga bagi Fukuyama demokrasi liberal merupakan suatu konsep yang bebas dari pelbagai kontradiksi internal yang fundamental seperti kerusakan parah dan irasional-irasional. Memang masalah tetap ada dalam demokrasi liberal, namun, permasalahan-permasalahan itu merupakan implementasi yang tidak lengkap dari prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan dimana demokrasi dibangun, bukan karena kekurangan-kekurangan dalam prinsip-prinsip itu sendiri, seperti bentuk-bentuk pemerintahan yang sebelumnya.

Pencapaian ‚Akhir Sejarah’

„Kehidupan kelompok“ inilah kata kunci dalam mewujudkan Demokrasi liberal, dimana jika sebuah kehidupan komunitas berdiri kuat maka demokrasipun memiliki jaminan untuk setiap warga negaranya. Dan dalam masyarakat liberal, komunitas-komunitas yang bersama-sama memiliki „bahasa yang baik dan jahat“ lebih suka dilihat bersama oleh sebuah ikatan yang lebih kuat ketimbang yang hanya didasarkan pada berbagi kepentingan pribadi.

Demokrasi liberal, tidaklah cukup pada dirinya sendiri: kehidupan komunitas yang menjadi ketergantungan mereka pasti berasal dari satu sumber yang berbeda dari liberalisme itu sendiri.

Sebuah Evaluasi

Pembacaan yang jernih memang telah dilakukan oleh Fukuyama, dimana seharusnya tidak ada lagi kelas-kelas dalam masyarakat, tidak ada lagi pembedaan antara yang satu dengan yang lain. Bahwa semua adalah sama di dalam suatu negara. Dan bagi Fukuyama keadaan diatas disebut-sebutnya sebagai negara demokrasi liberal, dimana bentuk negara inilah yang harusnya menjadi tujuan bagi setiap negara di dunia, karena dengan bentuk negara ini tidak akan pernah ada lagi benturan-benturan antar ideologi besar di dunia, tidak akan ada lagi pertempuran-pertempuan kelas dan kaum di suatu negara. Dan kesimpulan Fukuyama bahwa inilah ‚akhir sejarah’ dimana manusia dapat saling hidup berdampingan.

Tetapi konsep yang dijabarkan oleh Fukuyama ini terlalu mendiskreditkan konsep-konsep sosialis dan reductionistic scientists. Bahkan konsep demokrasi liberal yang diungkapkan-pun terasa sangat eksklusif bagi negara-negara barat, dimana seakan-akan ini hanya untuk kemajuan warga Amerika Serikat. Fukuyama sendiri memang mengungkapkan bagaimana seharusnya bangsa Asia ikut turut ambil bagian dalam bentuk negara ini, tetapi permasalahan-permasalahan yang sebenarnya dialami oleh negara-negara Asia –yang sebenarnya fundamental- tak terjamah olehnya.

Daftar Buku

Lawler, Peter Augustine, 2000, “Francis Fukuyama As Teacher Of Evil”, http://www.FreeRepublic.com

Fukuyama, Francis, 2003, The End of History and The Last Man, Yogyakarta: Penerbit Qalam.

_________________, 2002, Trust: Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, 2002, Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Williams, Howard, David Sullivan and Gwynn Matthews, 1997, “Francis Fukuyama and The End of History”, http:// PoliticalPhilsophyNow.com

0 komentar:

Posting Komentar